Oleh: Ps. Paulus Wiratno
Salah satu hobi iseng saya adalah ikut-ikutan berburu pakaian bekas bermerek di Pasar Kodok-Tabanan. Di pasar ini semua barang bekas tersedia, mulai dari pakaian bekas, tas bekas, jas bekas hingga dasi bekas. Yang jelas tidak ada istri atau suami bekas yang dijual di sana. Jangan kaget atau heran! Jangan bilang kalau kami jadi murahan gara-gara pakai pakaian bekas. Pengunjung dan konsumen pasar ini sangat bervariasi, mulai dari kuli bangunan, pembantu rumah tangga, pegawai negeri, artis lokal hingga golongan “the have”.
Kalau tidak percaya lihat saja jenis dan pelat mobil yang parkir di sana. Tujuan mereka juga beda-beda. Ada yang hanya mau menghilangkan stres. Ada pula yang mau menghabiskan uang bekas. Namun, dijamin tidak akan ada politikus atau artis yang melakukan money laundry di sana. Bagi yang incomenya pas-pasan, pakaian bekas menjadi the “the best choice”.
Ada pelajaran menarik dari pasar Kodok. “Tidak apa barang bekas, yang penting bermerek.” Inilah golongan konsumen yang percaya bahwa merek bisa menaikan harga diri. Toh saat baju bekas itu dipakai tidak ada yang tanya dan tidak ada yang tahu asal usulnya. Meskipun bekas tetapi kalau yang pakai adalah seorang selebriti seperti Agnes Monica, pasti orang percaya bahwa dia pasti beli di Paris atau Inggris. Masalahnya bukan di bajunya tetapi siapa yang memakai baju.
Saya mendapatkan pencerahan saat membeli celana bekas dengan merek “Nike”. Harganya sepuluh kali lipat lebih murah dari yang masih baru. Waktu dipakai tidak ada bunyinya “kas kas kas…”, rasanya nyaman dan tidak masalah. Saya memilih merek “Nike” bukan karena ingin mendongkar harga diri, tetapi karena kenyamanan saat memakainya. Seorang teman mengatakan, “Pak, saya suka dengan celana bapak, pasti mahal harganya”. Saya bilang “terima kasih” kemudian saya memberitahu “harganya hanya 20.000”. Dia kaget, tidak percaya. “Saya beli dipasar Kodok”. Teman saya lebih kaget lagi “Yang bener saja pak pendeta, masak bapak beli pakain bekas di pasar Kodok?” Dengan senyum saya bilang kepadanya “memangnya masalah buat lho?”
Jangan pikir gara-gara pakaian bekas kemudian kita menjadi bangsa kelas dua atau ikut menjadi rongsokan. Tidak ada hubungan antara pakaian dengan harga diri. Itulah sebabnya waktu manusia dilahirkan tidak ada yang pakai jas, baju atau sepatu bermerek. Kita semua lahir dengan telanjang dan akan kembali menghadap Tuhan dengan telanjang pula. Jangan pikir karena memakai jam tangan harga 10 juta, merasa lebih berharga di hadapan Allah dari pada tetangga yang pakai jam Rolex pinggir jalan seharga 75.000. Pokoknya yang namanya asesori hidup seperti perhiasan, pakaian atau merek tidak akan menyertai kita waktu kita meninggalkan dunia ini. Makanya jangan sampai gara gara mengejar kemewahan dan kekayaan justru mengorbankan yang kekal dan akan menyertai kita ke alam baka. “Apa untungnya mendapatkan semua isi dunia ini tetapi jiwa binasa?”
Semua manusia berharga di hadapan Allah, itulah sebabnya Akitab mengajarkan supaya kita tidak membedakan makluk Tuhan hanya karena jenis pakaian atau merek mobil. “Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk, dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya:”Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”, bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat? Yakobus 2:2-4
Intisari pelajaran moralnya begini, barang bekas atau barang baru, bermerek atau tidak, buatan lokal atau import, yang penting yang memakainya. Kalau kita sudah merasa yakin bahwa kita adalah umat pilihan Allah, bangsa yang kudus, imamat rajani, maka apa pun yang kita pakai dan ke mana pun kita pergi kita akan tetap percaya diri sebagai orang yang berharga di mata Allah dan manusia. Sebaliknya, bagi yang merasa tidak berharga, walaupun memakai perhiasan atau pakaian yang mahal, tetap saja perasaan tidak berharga itu akan melekat di hatinya. Kalau tidak percaya, tanyakanlah langsung kepada mereka. Mungkin waktu pakai pakaian mahal, ia merasa berharga, tetapi kalau pakaiannya dilepas, ia kembali pada pikiran bawah sadarnya “saya tidak berharga.”