PALANGKA RAYA- Wabah Covid-19 telah banyak memakan korban jiwa. Di Kalimantan Tengah saja, hingga saat ini tercatat 286 jiwa yang meninggal dunia dan ratusan lainnya masih dalam perawatan. Namun, tidak sedikit pula yang berhasil melewati masa-masa kelam di bangsal perawatan rumah sakit. Setelah sekian lama mendapat perawatan tim medis, akhirnya mereka dinyatakan sembuh dan dipulangkan.
Salah satunya Utari, warga Jalan RTA Milono, Kota Palangka Raya. Kini dia berbagi pengalaman setelah berhasil berjuang melawan Covid-19. Utari menceritakan, saat awal gejala Covid dirinya merasa demam. Seluruh badan terasa sakit, tidur gelisah dan sesak napas ringan.
Ini berlangsung selama 3 hari. Karena belum sembuh juga, ia memberanikan diri ke praktik dokter umum. “Sudah diberi obat tak ada perubahan,” kenangnya.
Perasaan curiga terpapar Covid-19 pun muncul, ketika Utari mulai merasa kehilangan penciuman di hari ke-5. Ia menanyakan ke dokter BPJS gejala yang dialami. Hari itu juga disarankan daftar cek ke Poli Covid di RSUD Doris Sylvanus.
Hari berikutnya, Utari swab 2 kali alhasil positif. Karantina di RSUD Doris Sylvanus pun dijalaninya 11 hari. Terapi yang diberikan dokter berupa infus antibiotik, vitamin dan obat-obatan. Karena ada riwayat diabetes, maka diberikan juga obat anti diabetes.
“Secara emosi terinfeksi Covid, saya panik, sedih, bahkan mengkhawatirkan mama, adik, keponakan, dan juga tetangga pernah kontak langsung dengan saya. Puji Tuhan, keluarga teman dan sahabat mendukung saya sepenuhnya secara moril dan materiil,” ujarnya.
Hal yang disyukurinya juga, tidak ada anggapan negatif dari orang lain. Namun, jika orang tahu tentang riwayat sakit dirinya pasca-karantina, itu dianggapnya sebagai hal yang wajar.
“Rasanya wajar saja orang takut. Karena tahu saya habis karantina dan menjauh, bahkan spontan menyemprot tangan dengan alkohol,” katanya, seraya tertawa kecil.
Utari berpesan bagi seluruh masyarakat Palangka Raya, jika merasakan gejala seperti yang dialaminya, khususnya hilang penciuman, segeralah datang ke Poli Covid, mendaftar untuk diperiksa. Jangan menunda. Jika hasil pemeriksaan ternyata terinfeksi virus Corona, berusaha tidak panik, ikuti langkah-langkah protokol penanganan Covid dari pihak rumah sakit.
Penyintas Covid-19 lainnya adalah Revi Luber. Dia bercerita, awal gejala terjadi pada 8 Desember 2020. Saat itu demam tinggi. Suhu tubuh 38,9 seperti gejala tipes disertai badan menggigil. Masih belum tahu itu gejala awal dan masih konsumsi obat penurun panas. Namun, keesokannya badan sudah tidak demam lagi, hanya kondisi badan lemas, rasa tubuh seperti ngilu. Puncaknya 12 Desember 2020 sore, penciumannya hilang dan perasa pun hilang. Ia sempat panik, tapi ditepis dengan berpikir tidak pernah bepergian ke mana-mana.
“Akhirnya Senin, 14 Desember 2020 ada teman kerja menghubungi kalau ada salah satu teman yang terkonfirmasi Covid. Dari situ mulai panik karena gejalanya sama. Akhirnya menghubungi suami untuk melakukan swab, karena curiganya ini gejala Covid juga,” kenang Revi.
Setelah hasil swab 18 Desember keluar dan dinyatakan positif terkonfirmasi Covid-19, bersyukur saat itu suaminya dinyatakan negatif dan langsung ke rumah sakit karena ada keluhan sesak napas. Akhirnya Revi dan suami ke RSUD Doris Sylvanus melakukan screening dan besoknya suami dipanggil untuk swab ke-2 kalinya. Pada 21 Desember hasil swab suami keluar dan tetap negatif.
“Dari Poli Covid mereka menghubungi agar melakukan rawat inap atau isolasi di rumah sakit karena takutnya yang ada di rumah terkonfirmasi,” imbuh Revi.
Revi menerima pengobatan mulai 21 Desember. Terapi yang diberikan melalui obat-obatan, baik anti virus, infus dan juga obat untuk penyakit penyerta. Terapi dilakukan selama 11 hari karena obat anti virus harus habis selama 11 hari itu.
“Tidak bisa diceritakan bagaimana rasanya. Yang terpikir kenapa virus yang ditakutkan bisa ada di tubuh saya. Yang membuat tambah drop ketika mendengar angka kematian virus itu bertambah. Secara psikis bagaimana virus yang di tubuh ini menular ke orang-orang sekitar, seolah-olah saat itu saya berpikir menjadi biang penyebar virus,” tuturnya.
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bentuk dukungan dari keluarga dan teman-teman saat itu selalu dan tidak pernah berhenti berdoa. Kata-kata motivasi membuatnya kuat menghadapi Covid ini.
“Memang tak akan pernah dilupakan, karena bagi saya masa itu adalah masa terberat antara hidup dan mati. Mungkin orang bilang lebay, karena beranggapan banyak yang sembuh. Tapi, banyak yang tidak tahu untuk proses penyembuhan itu butuh perjuangan baik secara emosional dan psikis agar imun tubuh terbentuk,” ujar Revi. dsn