PALANGKA RAYA/Corong Nusantara – Miris, pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalteng menunjukkan peringkat kedua ‘terburuk’ secara nasional, setelah Provinsi Bali. Hal ini mengundang berbagai tanggapan serius dari pengamat dan pakar ekonomi di Kalteng.
Deputi KPwBI Kalteng Yudo Herlambang mengindikasikan bahwa kontraksi yang terjadi karena faktor statistik pada sektor Pertambangan dan Administrasi Pemerintahan utamanya.
“Maksud faktor statistik adalah, pada triwulan I 2020 (yoy), pada kinerja sektoralnya dibandingkan dengan Triwulan I 2019 lebih bagus. Namun, karena faktor pandemi global dan lain sebagainya yang mempengaruhi permintaan global serta mobilisasi masyarakat pada triwulan I 2021 menjadi lebih rendah dibandingkan dengan Triwulan I 2020,” ungkapnya.
Terpisah, Pengamat dan Dosen Ekonomi Universitas Palangka Raya, Fitria Husnatarina mengatakan jika serapan APBD di Kalteng Q1 tergolong rendah, sekalipun usaha percepatan serapan telah dilakukan. Kalteng masih tergantung dengan APBD sebagai back up pertumbuhan perekonomian, karena lapangan kerja di Kalteng masih mayoritas di sektor formal (pegawai negeri sipil secara spesifik).
“Dalam konteks ini diharapkan pola konsumsi yang bisa menggerakkan pertumbuhan perekonomian juga menjadi sangat tergantung dengan belanja pegawai, salah satunya mungkin adalah belum dikucurkannya tambahan penghasilan bagi ASN dan juga THR pada Q1, sehingga pola belajar juga bergerak lambat,” jelasnya.
Fitria juga mengatakan, food estate sebagai program prioritas nasional, tentunya diharapkan dapat mendongrak perekonomian Kalteng secara khusus, belum menunjukkan hasil yang signifikan.
“Istilah ada gula pasti ada semut, belum tampak nyata di program ini, artinya investasi ini belum cukup menggerakkan roda perekonomian pada tataran jangka pendek yang diharapkan. Bahkan, kecenderungan polemik-polemik yang berhembus dan pemberitaan terkait program strategis. Ini pun menjadi catatan khusus bagi pengusaha untuk tetap wait and see,” imbuhnya.
Selanjutnya dikatakannya pula vaksinasi sebagai salah satu indikator percepatan perekonomian juga menjadi ‘game changer’.
“Sebenarnya, kita balik pada titik mencari pola aktivitas perekonomian yang berkesesuaian dengan tatanan kesehatan dengan isu dan faktual virus baru, vaksinasi yang belum selesai dan lonjakan pasien yang juga bergerak linier. Nah masalah di Kalteng ada dimana? Nyatanya daerah lain juga pasti mengalami hal yang sama jika kita bertanya dalam perspektif global, apa yang dialami Kalteng juga pastinya dialami daerah lain,” kata Fitri.
Sudut tata kelola yang kita masih lemah, ungkap Fitri, jika daerah lain sudah menemukan pola perekonomian yang berkesesuaian dengan tatanan kesehatan dan tinggal melanjutkan tentunya dengan intervensi inovasi dan penggunaan teknologi.
“Nah di Kalteng saya berpikir masih cukup ‘gelagapan’ untuk skala prioritas apa yang ingin dikerjakan dalam percepatan perekonomian….UMKM? Saya pikir masih digarap dengan pola bussines as usual (BAU), sektor lainnya juga sama. Jadi, akumulasi aktivitas-akvitas makro dan mikro diatas menjadi tantangan tersendiri untuk Kalteng menggerakkan perekonomiannya,” ujarnya menjelaskan.
Srikandi pakar ekonomi Kalteng tersebut menyayangkan terjadinya ‘penyakit’ bagi percepatan pertumbuhan ekonomi, yaitu capital flight di Kalteng, sederhananya dapat komoditasnya di Kalteng, atau dapat uangnya di Kalteng tapi belanjanya di luar Kalteng, dan ini tidak pernah terpecahkan juga bagaimana resource itu bisa balik lagi ke Kalteng. dsn