PALANGKA RAYA/Corong Nusantara- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang melakukan kunjungan kerja (kunker) bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya, Senin (5/7/2021). Dua hal yang menjadi agenda dalam kunker via zoom meeting tersebut, masalah tata ruang dan hak kepemilikan.
Senator asal Kalteng ini menjelaskan, persoalan tata ruang dan hak kepemilikan merupakan persoalan di bidang pertanahan. Sebagaimana diketahui, persoalan pertanahan tidaklah sederhana, karena menyangkut tumpang tindih aturan serta tidak selarasnya penataan sejak dari masa-masa lalu hingga kini.
Kalteng sendiri berhasil mendorong terbitnya Perda No.05 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalteng, namun tentu Perda tersebut tidak sempurna.
Teras Narang menyampaikan, keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 2012 dan 2018 menimbulkan permasalahan yang cukup rumit, karena penetapan kawasan hutan sebelumnya seluas sekitar 66% menjadi 82% akibat adanya surat yang membatalkan Perda No.08/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng.
Penataan ruang menjadi makin rumit lagi, terlebih karena banyaknya permukiman warga yang tercatat dalam kawasan hutan, menimbulkan sulitnya menjalankan agenda pembangunan.
“Saya beberapa waktu lalu menawarkan, agar menjadikan wilayah kelurahan yang menaungi Kampung Pahandut di pesisir sungai menjadi desa atau desa adat. Dua keuntungan selain melestarikan budaya juga membangun destinasi wisata. Selain itu, bisa jadi solusi penyelesaian masalah agraria khususnya bagi mereka yang turun temurun tinggal di pingir sungai. Saya berharap, usulan ini dilihat sebagai salah satu solusi integral bagi penataan ruang serta mengatasi masalah pertanahan di Palangka Raya,” kata Teras.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI periode 2004-2009 dari Fraksi PDI Perjuangan ini mengatakan, 1,5 tahun lalu, di Palangka Raya, tingkat floating data sertifikat sekitar 20% saja. Artinya, ada kemungkinan 80% sertifikat yang overlap. Ini yang membuat BPN melakukan pemetaan dan tingkat floating sudah mencapai 70%.
Dengan demikian, kemungkinan overlap sekitar 30% dan senantiasa terus digarap. Sebab semakin tinggi prosentasenya, semakin sulit penanganannya, karena harus turun ke lokasi.
Ada kecenderungan, kata Teras, masyarakat juga hanya fokus pada pengurusan sertifikat kepemilikan, tapi tidak melakukan optimalisasi aset lahan, sehingga tidak menghasilkan produktivitas dari pengusahaan tanah. Akhirnya kemudian muncul lagi klaim-klaim kepemilikan oleh mafia tanah terhadap lahan yang kosong dan tidak dikelola sebagaimana mestinya.
Menyelesaikan permasalahan sektor pertanahan di Kalteng, bukan pekerjaan kecil. Untuk itu, mengajak semua pihak dapat lebih jeli dan arif menyelesaikannya. Terlebih agar kepentingan masyarakat adat juga dapat dilindungi. Dengan adanya status hukum yang jelas atas kepemilikan atau pemanfaatan lahan, akan menghasilkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Kendati kondisi cukup kompleks, lanjut Teras, tetap dipikirkan solusi alternatif bagi masyarakat pinggiran sungai yang sudah ada puluhan tahun, seperti menggunakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang yang mengatur tentang pesisir pantai. Dalam ketentuan ini menyatakan bahwa untuk 3 klaster dapat diterbitkan hak kepemilikan. Klaster ini adalah pertahanan keamanan, pariwisata dan hak ulayat.
“Saya mengapresiasi kerja dari BPN Kota Palangka Raya di bawah kepemimpinan Budhy Sutrisno, yang memahami dengan baik konteks sosial dan kultural masyarakat di Palangka Raya. Saya berharap akhirnya masalah pertanahan di Palangka Raya bisa dituntaskan. Baik terkait dengan floating data ke BPN hingga persoalan konflik agraria yang ada,” kata mantan Gubernur Kalteng ini.
Palangka Raya dalam setahun ini mendapatkan target 12 ribu pengukuran untuk pertanahan. Sasarannya semua bidang tanah di Republik Indonesia minimal dapat terpetakan. Selanjutnya sertifikat akan mengikuti kemudian bergantung dari status clean and clear.
Tantangan lain adalah penyelesaian konflik agraria di lokasi transmigrasi Transbangdep Tumbang Tahai di Kelurahan Habaring Hurung, hingga status hak atas tanah masyarakat di Sempadan Sungai dan Ruang Terbuka Jalur Hijau. Dalam kesempatan ini, disampaikan juga belum ada aturan khusus yang mengatur.
Selanjutnya dibahas juga terkait persoalan tumpang tindih kepemilikan yang disebut terjadi akibat belum terintegrasinya sistem dan data kepemilikan. Jadi terdapat data di daerah yang belum dalam sistem BPN yang baru terbangun menggunakan teknologi informasi baru-baru ini.
Adanya data kepemilikan lama yang belum masuk ini, rentan menimbulkan penerbitan kepemilikan ganda hingga harus disisir. Ini juga yang jadi salah satu agenda BPN Kota Palangka Raya.
Untuk itu, sinergi termasuk dengan kelurahan sangat diperlukan. Hal ini terus didorong oleh BPN Palangka Raya, sehingga diharapkan bisa mencapai tingkat floating 90%, syukur bisa mencapai 100% masuk database.
“Kami juga mendiskusikan keunikan isu pertanahan di Palangka Raya. Kepala BPN sendiri mengakui bahwa hampir semua tanah di Palangka Raya, khususnya tanah kosong, bermasalah, karena tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hal ini menimbulkan kerisauan bagi masyarakat dalam membeli tanah. Banyak juga developer yang akhirnya tidak mau beli tanah, karena risau dengan status kepemilikan lahan. Hal ini tentu saja berimbas pada upaya pembangunan,” katanya. ded